STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
Oleh: zainal masri
- Pendahuluan
Strategi
pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses pembelajaran
yang menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu
menyangkut kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam.
Dalam
pengaplikasian terhadap pembelajaran yang diberikan guru, dalam
pemberian contoh terhadap yang diberikan guru hendaknya siswa
difasilitasi dengan lingkungan yang baik, saya lihat sebagian sekolah,
bahwasanya lingkungan sekitar sekolah tidak nyaman untuk melakukan
pembelajaran yang afektif, dan juga lingkungan masyarakat, maka dari itu
pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.
Misalnya
ketika anak diajarkan tentang keharusan bersifat jujur dan disiplin,
maka sifat tersebut akan sulit diinternalisasi manakala lingkungan
diluar sekolah anak banyak melihat prilaku-prilaku ketidakjujuran dan
ketidakdisiplinan. Walaupun guru sekolah begitu keras menekankan
pentingnya sikap tertib berlalu lintas.
Maka
sikap tersebut akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu
banyak orang-orang yang melanggar lalu lintas, demikian juga walaupun
disekolah guru-guru menerangkan dan menegaskan perlunya bagi anak untuk
bekata sopan dan halus disertai contoh prilaku guru, akan tetapi sifat
itu sulit diterima oleh anak manakala diluar sekolah begitu banyak
manusia yang berkata kasar dan tidak sopan.
- Strategi pembelajaran Afektif
- Hakekat Strategi Pembelajaran Efektif
Strategi
pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses pembelajaran
yang menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu
menyangkut kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam.[1]
Strategi
pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk
mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk
mencapai dimensi yang lainnya. Afeksi juga dapat muncul dalam kejadian
behavioral yang di akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh
guru.[2]
Nilai
adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada didalam dunia yang empiris, nilai tersebut
berhubungan langsung dengan pandangan seseorang yang tidak bisa dilihat,
diraba tapi bisa dirasakan langsung oleh orang yang bersangkutan.
Oleh
karena itu pada hakekatnya strategi pembelajaran afektif proses
penamaan nilai-nilai yang positif pada peserta didik, yang diharapkan
pada peserta didik tersebut mampu berbuat dan mempunyai pandangan yang
dianggap tidak baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku artinya disini bahwa dalam strategi ini dituntut kesadaran dan
kemauan bagi peserta didik untuk bisa mempunyai kepribadian baik,
berprilaku yang sopan dan bretindak sesuai dengan norma yang telah
ditetapkan.
Aspek
afektif yang berhubungan dengan penilaian terhadap sikap dan minat
siswa terhadap materi pembelajaran dalam proses pembelajaran sebab sikap
dan minat siswa terhadap materi pembelajaran sangat berpengaruh dan
saling berkaitan dalam hasil belajar siswa tersebut, betapa pintar guru
dalam menguasai materi pelajaran, tetapi seleranya siswa kurang
berminat, dan perhatian serta sikapnya terhadap materi pelajaran, maka
pelajaran yang akan disampaikan tidak mencapai tujuan pembelajaran.
Hal
ini bisa dilakukan oleh seorang guru dalam strategi ini yaitu
menggunakan berbagai macam strategi pembelajaran efektif yang
bervariasi, yang bisa memancing minat perhatian serta kemauan peserta
didik atas siswa. Misalnya menciptakan suasana dalam proses pembelajaran
berlandaskan kekeluargaan dan menciptakan suasana girang dalam proses
pembelajaran.
Oleh
karena itu nilai pada dasarnya standar prilaku, ukuran yang menentukan
atau kriteria seorang tentang baik atau tidak baik, indah atau tidak
indah , layak atau tidak layak dan lain sebagainya. Sehingga standar itu
yang akan mewarnai prilaku seseorang.
Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti saat sekarang ini, pendidikan
nilai bagi anak-anak merupakan hal yang sangat penting, ini disebabkan
pada era globalisasi dewasa ini, anak akan dihadapkan pada banyak
pemilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya lebih baik sesuai
dengan pandangannya pada saat itu.
Komitmen
seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan
sikap yakni kecendrungan seseorang terhadap suatu objek misalnya: jika
seseorang berhadapan dengan suatu objek, ia akan menunjukkan gejala
senang atau tidak senang, suka atau tidak suka terhadap objek tersebut. Gulo (2005) menyimpulkan, tentang nilai sebagai berikut:
a. Nilai tidak bisa diajarkan tapi diketahui dari penampilannya
b. Pengembangan dominan afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif
c. Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berkembang sehingga bisa dibina
d. Perkembangan nilai atau moral[3]
Pernyataan
senang atau tidak senang seseorang terhadap objek yang dihadapinya,
akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya(aspek mognitif)
terhadap objek tersebut oleh karena itu tingkat penataan (kognitif)
terhadap sesuatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya
(psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang
bersangkutan.
Sekurang-kurangnya ada dua macam kecakapan kognitif siswa sangat perlu dikembangkan secara khususnya yakni:
- Strategi belajar memahami isi materi pelajaran bagi peserta didik
- Strategi menjalani arti penting isi materi pelajaran dan pengaplikasiannya, serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut.
Keberhasilan
pengembangan ranah kognitif tidak hanya akan membuahkan kecakapan
kognitif tetapi juga menghasilkan ranah afektif. Sebab kalau seorang
siswa mempunyai kemampuan dalam pemahaman materi agama (kognitif) maka
hal tersebut akan menimbulkan atau kesadaran, penilaian yang positif
pada dirinya serta mampu menolak terhadap segala sesuatu yang akan
membawa pengaruh buruk.
Misalnya:
seorang siswa mempunyai pengetahuan dan dapat memberikan penjelasan
dari berbagai sudut bahwa mencuri tersebut tidak baik dan dilarang oleh
norma apapun termasuk norma agama (aspek kognitif) berdasarkan
pengetahuan itulah tidak suka melakukannya (aspek afektif) akan tetapi
sikap negatif terhadap perbuatan mencuri baru bisa kita lihat dari
tindakan nyata bahwa walaupun ada kesempatan untuk mencuri ia tidak akan
pernah melakukannya.[4]
- Hakekat Pendidikan Nilai Dan Sikap
Sikap afektif erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki seseorang, sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki seseorang. Oleh karenanya
pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
Nilai
adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada dalam dunia empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, dan
lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa
diraba, kita mungkin dapat mrngetahui dari prilaku yang bersangkutan,
oleh karena itulah nilai pada dasarnya standar prilaku, ukuran yang
menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, sehingga
standar itu akan mewarnai prilaku seseorang.
Dengan
demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada
peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berprilaku
sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik atau tidak bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku. Douglas graham (gulo, 2003) melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
- Normatifizh adalah kepatuhan kepada norma-norma hokum
- Integralist adalah kepatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional
- Fenomenalist adalah kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi
- Hedonist adalah kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normatifist sebab
kepatuhan semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran yang
akan dinilai, tanpa mempedulikan apakah prilaku itu menguntungkan untuk
dirinya atau tidak.[5]
Thurstone
& Chave (dalam Mitchell, 1990) mengemukakan definisi sikap yaitu,
Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, curiga atau
bias, asumsi-asumsi, ide-ide, ketakutan-ketakutan, tantangan-tantangan,
dan keyakinan manusia mengenai topik tertentu.
Pendapat
Allport (1921) mengenai sikap lebih memperkaya pandangan yang
dikemukakan sebelumnya. Menurut Allport sikap adalah kondisi mental dan
neural yang diperoleh dari pengalaman, yang mengarahkan dan secara
dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua objek dan
situasi yang terkait.
Menurut
Krech & Crutchfield sikap adalah pengorganisasian yang relatif
berlangsung lama dari proses motivasi, persepsi dan kognitif yang
relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek
kehidupannya.
Dari
berbagai defensi diatas maka dapat disimpulkan bahwa, Sikap adalah
kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan
demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima
atau menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap objek itu
sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak
berharga atau tidak berguna (sikap negatif).[6]
Sikap
merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam
mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai
kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif (winkel
2004).
Pernyataan senang atau tidak senangnya seseorang terhadap objek yang dihadapinya, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek tersebut. Oleh karena itu tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan.
Pernyataan senang atau tidak senangnya seseorang terhadap objek yang dihadapinya, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek tersebut. Oleh karena itu tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan.
Misalnya
seseorang dapat memberikan penjelasan dari berbagai sudut bahwa mencuri
itu tidak baik dan dilarang oleh norma apapun (aspek kognitif),
berdasarkan pengalaman itu ia tidak suka melakukannya (aspek afektif),
akan tetapi sifat negative dan sifat mencuri baru bisa kita lihat dari
tindakan nyata walaupun ada kesempatan untuk mencuri ia tidak
melakukannya, dan penilaian terhadap sikap negative terhadap mencuri itu
lebih meyakinkan bahwa perbuatan mencuri itu memang tidak pernah ia
lakukan, walaupun banyak kesempatan untuk itu.
- Model Strategi Pembelajaran Sikap
Setiap
startegi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada
situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematic. Melalui
situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai
yang dianggapnya baik, dibawah ini disajikan beberapa model strategi
pembelajaran pembentukan sikap:
- Model konsiderasi
Model konsiderasi (the condiration model)
dikembangkan oleh Mc.Paul, seorang humanis, paul menganggap bahwa
pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional.
Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian
bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan
kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian.[7]
Tujuannya
adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap
orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul
secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan
penuh rasa cinta dan kasih sayang. Dengan demikian pembelajaran sikap
pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan
agar bisa hidup bersama secara harmonis, peduli dan merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain (tepo salero).
Atas
dasar asumsi diatas guru harus menjadi model didalam kelas dalam
memperlakukan setiap siswa dengan rasa hormat, menjauhi sikap otoriter.
Guru perlu menciptakan kebersamaan, saling membantu, saling menghargai
dan lain sebagainya.
sImplementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahapan pelajaran seperti dibawah ini:
1) Menghadapkan
siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi “seandainya siswa
mengalami masalah tersebut”.
2) Menyuruh
siswa untuk menganalisis situasi masalah melihat bukan hanya yang
tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya
perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
3) Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi
4) Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang diberikan siswa
5) Mendorong siswa merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
6) Mengajak
siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang
(interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat mengimbang
sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
7) Mendorong
siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai
dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
b. Model pengembangan kognitif
Model pengembangan kognitif (the cognitive development model)
dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh
pemikiran jhon dewey dan jean piaget yang berpendapat bahwa perkembangan
manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang
berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut
Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui tiga tingkat, dan setiap
tingkat terdiri dari dua tahap:
1) Tingkat prakonvensional
Pada
tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingan
sendiri artinya pertimbangan moral berdasarkan pada pandangannya secara
individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh
masyarakat, pada tingkat para konvensional ini terdiri atas dua tahap:
a) Orientasi Hukum dan Kepatuhan.
Pada
tahap ini prilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan
terjadi, artinya anak hanya berpikir bahwa prilaku yang benar itu adalah
prilaku byang tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan demikian setiap
peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negative.
b) Orientasi Instrument – Relatif
Pada
tahap ini prilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan
permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas
prilaku yang dianggap baik. Dengan demikian prilaku itu didasarkan
kepada saling menolong dan saling memberi.
2) Tingkat Konvensional
Pada
tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu
masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa prilaku itu
sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat, dengan
demikian pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau
tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai dua tahap:
a) Keselarasan Interpersonal
Pada
tahap ini ditandai dengan setiap prilaku yang ditampilkan individu yang
didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran
individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain diluar dirinya untuk
berprilaku sesuai dengan harapan. Artinya anak sadar bahwa ada hubungan
antara dirinya dengan orang lain. Dan hubungan itu tidak boleh rusak.
b) Sistem Social dan Kata Hati
Pada
tahap ini prilaku individu bukan berdasarkan pada dorongan untuk
memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi berdasarkan
pada tuntutan dan harapan masyarakat, ini berarti telah terjadi
pergeseran dari kesadaran individu kepada keadaran social yang mengatur
prilaku individu.
3) Tingkat postkonvensional
Pada
tingkat ini rilaku individu berdasarkan pada kepatuhan terhadap
norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya
kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu,
seperti pada tingkatan sebelumnya, pada tingkat ini terdiri juga atas
dua tahap:
a) Kontrak Social
Pada
tahap ini prilaku individu berdasarkan pada kebenaran-kebenaran yang
diakui dimasyarakat. Kesadaran individu untuk berprilaku tumbuh karena
kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip social. Dengan demikian
kewajiban moral dipandang sebagai kontrak social yang harus dipatuhi
bukan sekedar pemenuhan system nilai.
b) Prinsip Etis yang Universal
Pada
tahap terakhir, prilaku manusia didasrkan pada prinsip-prinsip
universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkansegala kontrak
social yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan kepad suatu kewajiban
sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain. Apaka orang
itu sebagai orang yang kita benci ataupun tidak, apakah orang itu kita
cintai atau tidak,, orang yang kita suka atau tidak, pertolongan yang
diberikan bukan didasarkan pada kesadaran yang bersifat universal.
Sesuai
dengan prinsip bahwa moral terjadi secara bertahap, maka strategi
pembelajaran model kohleberg diarahkan untuk membantu agar setiap
individu meningkat dalam perkembangan moralnya.
c. Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik mengklasifikasi nilai (value clarivication technique)
atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran
untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan status nilai yang
dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses
menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan
yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah
poses pembelajaran yang dilakukan secara langsung oleh guru, artinya
guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan
nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa, akibatnya sering terjadi
benturan dan konflik dalam diri siwa karena ketidak cocokan antara nilai
lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru.
Siswa
sering sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama yang
sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Salah satu
karakteristik VCT sebagai suatu model dalam pembelajaran siap adalah
proses penamaan nilai yang dilakukan melalui proses analisis nilai yang
sudah ada. Sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan
nilai-nilai baru hendak ditanamkan.
VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan:
1) Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa terhadap nilai.
2) Membina
kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya, baik tingkatan
maupun sifatnya (positif atau negatif) untuk kemudian dibina kearah
peningkatan dan pembetulannya.
3) Untuk
menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional
diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut menjadi milik
siswa.
4) Melatih
siswa bagaimana cara menilai, menerima serta mengambil keputusan
terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari
dimasyarakat.
John
jarolimex (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam
tujuh tahap yang dibagi kedalam tiga tingkatan, setiap tingkatan
dijelaskan dalam tahap ini.:
a) Kebebasan memilih
Pada tingkatan ini terdapat tiga tahap:
1) Memilih
secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang
menurutnya baik, nilai yang dipaksakan tidak menjadi miliknya secara
penuh.
2) Memilih dari beberapa alternative, artinya untuk menentukan pemilihan dari beberapa alternative pilihan secara bebas
3) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya
b) Menghargai
Terdiri dari dua tahap pembelajaran:
1) Adanya
perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya,
sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari dirinya.
2) Menegaskan
nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya didepan umum,
artinya bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan
berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkan didepan orang lain.
c) Berbuat
Terdiri atas:
1) Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya
2) Mengulangi
prilaku sesuai dengan nilai pilihannya, artinya nilai yang menjadi
pilihan itu harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
VCT
menekankan bagaimana sebenarnya seorang membangun nilai yang menurut
anggapannya baik, pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai
prilakunya dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat. Dalam praktis
pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan
siswa, proses tersebut hendaknya berlangsung dalam suasana langsung dan
terbuka, sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas
perasaannya, beberapa yang harus diperhatikan guru dalam
mengimplementasikan VCT melalui proses dialog:
a. Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasehat, yaitu pemberian pesan-pesan moral yang menuntut guru dianggap baik
b. Jangan memaksa siswa untuk memberi respon tertentu apabila memang siswa menghendakinya
c. Usahakan dialog dilakukan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya
d. Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas
e. Hindari respon yang dapat menyebabkan siswa terpojok sehingga ia menjadi despensif
f. Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu
g. Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam
4. Kesulitan Dalam Pembelajaran Efektif
Disamping
aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan
peserta didik dan dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan
kompetensi agara peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka
pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah
pentingnya, ada beberapa kesulitan yang disebabkan dalam proses
pembelajaran dan pembentukan akhlak, yaitu:
- Selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, cenderung diarahkan untuk membentuk intelektual, akibatnya upaya yang dilakukan oleh seorang guru diarahkan kepada bagaimana anak dapat menguasai pengetahuan sesuai dengan standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran.
- Sulitnya melakukan control karena banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang, pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun model bukan hanya ditentukan oleh factor guru, akan tetapi terutama dari factor lingkungan.
- Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera, berbeda dengan pengembangan aspek kognitif, an aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat dari rentang waktu yang cukup panjang.
- Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak.[8]
Daftar Pustaka
Wina Sanjaya. Pembelajaran dalam Implementaasi. KBK. Jakarta: Kencana
Wina Sanjaya. 2007. Strategi Pembelajaran Afektif. Jakarta: Kencana
Http// Raudlatul Mubtadin. Strategi Pembelajaran Afektif.20 november 2009
Http// Sukarto. Strategi Pembelajaran Afektif tentang Nilai dan Sikap. Html . 28 maret 2010
www. Ilmu Kami.co.cc/ 2010/11 spa. Html. Strategi Pembelajaran Afektif. 04 November 2010
Ahkmad Sudrajat. Strategi Pembelajaran yang Afektif. 8 mei 2008
[1]Wina Sanjaya, 2007, Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana. Hal 272
[2]Raudlatul Mubtadiin, Strategi Pembelajaran Afektif, http// Praudlatul Mubtadiin.Wordpress.20 November 2009
Raudlatul mubtadiin, Strategi Pembelajaran Afektif, http// ppraudlatul mubtadiin. Wordpress.20 November 2009. Html
[4] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi KBK, Jakarta: Kencana hal 135
[5] Raudlatul Mubtadiin. Strategi Pembelajaran Afektif, http// Ppraudlatul Mubtadiin Wordpress.20 November 2009
[6] Ilmu Kami, Strategi Pembelajaran Afektif, 04 Nov 2010, http// www. Ilmu kami.co.cc//2010/11 .html
[7] Sukarto. 28 maret 2010. Strategi Pembelajaran Afektif Nilai. http// blog spot. com
[8] Ahmad Sudrajat. 8 mei 2008. Model Strategi Yang Afektif. http// Akhmadsudrajat. Word press. com
manthap,,,i.allah bermanfaat bacaanya karna diikut sertakan dgn footnote.a
BalasHapus